Kali ini mau cerita tentang pengalaman pribadi yang aku gak pernah lupa.
Sekali dua kali, aku mencoba melakukan kegiatan sosial yang sebenarnya sudah banyak juga orang lain lakukan; membagikan makanan ke orang-orang yang dirasa membutuhkan di pinggir jalan. Di tengah keramaian itu, ada seorang ibu yang mendekat dengan dua anak kecil yang beliau bawa. Usianya mungkin sekitar 40 tahun-an. Saat ku berikan makanan yang ku bagikan kepada mereka, si Ibu berkata "Terima kasih, mbak. Udah beberapa hari saya belum makan, dan cuma kasih anak-anak saya nasi dengan garam sama kerupuk."
Sebuah ungkapan -terlepas apakah itu benar atau bohong- yang aku kira cuma ada di cerita-cerita aja, gak pernah aku sangka itu akan pernah aku dengar di telingaku sendiri.
Singkat cerita, sedikit perbincangan kami di sana, aku mengetahui bahwa ibu tersebut tadinya bekerja sebagai buruh harian, namun sejak pandemi, pekerjaannya terhenti, dan si ibu berusaha tetap menyambung hidup dengan mencoba menjual tisu, bantu cuci, mengumpulkan barang bekas, dsb. Tapi nyatanya, hidup tetap berat bagi mereka bertiga.
Aku juga sempat menanyakan apakah ada uang yang bisa ditabung saat masih bekerja dulu untuk kehidupan anak-anaknya di kemudian hari, namun sayangnya beliau tidak punya tabungan.
"Dulu, mah, dapet (uang) langsung saya buat beli makan, pokoknya berapa dapet di hari itu yaa habis di hari itu. Gak kepikiran ke situ (nabung)."
***
Buat banyak orang di negara ini, hidup itu soal bertahan dari hari ke hari. Bukan tidak mau menyisihkan uang, tapi memang merasa enggak ada yang bisa disisihkan.
kalau ada yang bilang "mau nabung darimana kalau uangnya aja habis?", aku akan jawab "nabung itu bukan tentang seberapa banyaknya, tapi tentang kebiasannya."
Dari sedikit yang tersisa, apa mungkin seribu rupiah pun tidak ada untuk ditabung?
***
Menurut Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan 2024 dari OJK, tingkat literasi keuangan masyarakat Indonesia sudah meningkat menjadi 65,43%. Tapi kalau dilihat lebih jauh, masih ada ketimpangan besar di dalamnya.
1. Indeks literasi di daerah pedesaan cuma 59,25%
2. Mereka yang tidak tamat SD? Hanya 38,19%
3. Kelompok usia 15-17 tahun (yang adalah generasi harapan bangsa ini) pun indeksnya masih di angka 51,7%
Angka-angka ini bukan cuma statistik, tapi juga adalah wajah dari mereka yang tidak pernah punya kesempatan belajar mengelola uang karena terlalu sibuk bertahan hidup.
Jadi, literasi keuangan itu untuk siapa?
Kadang kita berpikir, “Kenapa sih orang nggak belajar nabung?”
Tapi pertanyaan yang lebih jujur mungkin: “Kapan mereka sempat belajar itu?”
Literasi keuangan seharusnya bukan tuntutan, tapi alat bantu. Bukan sekadar untuk yang punya penghasilan tetap atau gaji besar, tapi juga untuk mereka yang hidupnya fluktuatif, informal, dan rentan.
Itulah kenapa edukasi keuangan perlu dibawa ke tempat-tempat yang tidak biasa: ke posyandu, ke majelis taklim, ke komunitas ibu-ibu pengamen, ke anak-anak di sekolah pinggiran kota. Dan disampaikan dengan cara yang mereka pahami, bukan lewat seminar megah, tapi lewat cerita, obrolan, atau bahkan gambar.
Karena kadang, orang cuma butuh satu pengetahuan kecil untuk bisa mengambil keputusan besar: seperti menolak tawaran pinjaman berbunga mencekik, atau tahu bahwa ada cara menabung meski penghasilannya harian.
***
Kita Nggak Sama, Tapi Bisa Sama-Sama Belajar
Ibu yang kutemui hari itu bukan kisah langka. Di setiap sudut kota, mungkin ada ratusan ibu seperti dia: tidak terlihat, tapi sedang berjuang luar biasa. Dan buatku, literasi keuangan bukan solusi instan untuk kemiskinan. Tapi ia bisa jadi jembatan kecil untuk memahami, untuk bertahan, dan suatu hari nanti, untuk bangkit.
Karena pada akhirnya, ini bukan cuma soal uang. Tapi soal kesempatan.
Komentar
Posting Komentar